Meniti Rindu di Jalan Sunyi - RUANG LITERASI

Terbaru

Cari Blog Ini

Kamis, 19 September 2024

Meniti Rindu di Jalan Sunyi

Setiap siang, tepat pukul dua, Sarah, seorang anak kelas 5 SD, bersiap-siap berangkat mengaji ke madrasah. Rumahnya berada di kompleks perumahan karyawan rumah sakit perkebunan, jauh di pedalaman. Dari rumahnya ke madrasah, Sarah harus berjalan kaki melewati kebun sawit yang luas dan pabrik kelapa sawit yang besar. Jaraknya cukup jauh, tapi Sarah tetap menempuhnya dengan penuh tekad. Madrasah dimulai pukul dua siang dan berakhir pada jam lima, jadi setiap hari Sarah harus menyiapkan diri untuk perjalanan panjang itu.

Papanya, yang bekerja sebagai perawat di rumah sakit perkebunan, saat ini sedang sakit dan dirawat di Rumah Sakit Herna, Medan. Mamanya ikut menjaga di sana, meninggalkan Sarah dan adiknya, Siti, di rumah. Karena takut tinggal sendirian, Sarah dan Siti menumpang di rumah tetangganya, Bu Aminah, yang selalu baik hati. Meski begitu, Sarah tidak pernah lupa pesan mamanya sebelum berangkat ke Medan, "Nak, tetap rajin mengaji ya. Doakan papa setiap hari, supaya cepat sembuh."

Setiap kali melangkahkan kaki menuju madrasah, Sarah selalu ingat pesan itu. Ia merasa bertanggung jawab tidak hanya pada dirinya sendiri, tapi juga pada keluarganya, terutama papanya yang sedang sakit. Adiknya, Siti, yang masih duduk di kelas 2 SD, tidak ikut mengaji karena terlalu kecil. Dengan hati yang penuh tekad, Sarah berjalan menyusuri kebun sawit yang sunyi.

Kebun sawit itu memang sepi. Jarang ada orang yang lewat, dan pabrik kelapa sawit yang dilewati Sarah sering mengeluarkan suara gemuruh mesin yang membuatnya takut. "Bismillah, semoga aku selamat sampai madrasah," ucap Sarah pelan setiap kali melangkah dengan hati-hati di jalan tanah yang penuh kerikil. Meski hatinya kadang ciut, ia tidak pernah membiarkan rasa takutnya mengalahkan niatnya untuk belajar dan menjalankan kewajibannya.

Satu siang, ketika Sarah berjalan seperti biasa, angin kencang tiba-tiba berhembus dari arah pabrik. Suara mesin terdengar lebih keras dari biasanya, dan suasana di sekelilingnya semakin sunyi. Sarah berhenti sejenak, memandang kebun sawit yang seolah tak berujung. Perasaan cemas menyelinap dalam hatinya. Dia membayangkan papanya yang sedang terbaring sakit di Medan, jauh dari rumah. Air matanya mulai menggenang, tapi ia cepat-cepat menghapusnya. "Aku harus kuat," gumamnya, mempercepat langkah menuju madrasah.

Sesampainya di madrasah, Sarah merasa lega. Selama tiga jam, ia belajar dan berdoa dengan tenang. Ia selalu mendoakan kesehatan papanya di sela-sela waktu mengaji. "Ya Allah, sembuhkan papa. Aku ingin bisa bermain dan belajar bersama papa lagi," doanya dalam hati setiap hari. Meski jauh di dalam lubuk hatinya ada kekhawatiran yang besar, Sarah selalu berusaha kuat.

Sore itu, ketika madrasah selesai, Sarah berjalan pulang dengan hati yang lebih tenang. Jalan yang sama ia lalui lagi, melewati kebun sawit yang sunyi dan pabrik kelapa sawit yang berisik. Tapi kali ini, ia merasa lebih berani. Dia tahu besok dan seterusnya, ia akan tetap melakukan perjalanan ini, meski harus menghadapi rasa takut. Karena baginya, perjalanan mengaji ini bukan hanya tentang belajar agama, tapi juga tentang tanggung jawab terhadap keluarga dan menjalankan pesan mamanya.

Keesokan harinya, pagi di sekolah berjalan seperti biasa. Sarah sedang bermain di halaman bersama teman-temannya. Bel belum berbunyi, dan mereka memanfaatkan waktu untuk bersenang-senang. Namun tiba-tiba, Ibu Rita, wali kelasnya, mendekati Sarah dengan wajah serius.

"Sarah, kamu harus pulang sekarang, sayang," kata Ibu Rita lembut. "Oommu sudah datang menjemput. Papamu di Medan rindu sekali padamu dan ingin segera bertemu."

Sarah terdiam sejenak, merasa bingung. Papanya rindu? Tapi kenapa sepagi ini? Biasanya, kalau papanya kangen, dia hanya dijemput saat libur sekolah untuk pergi ke Medan dengan ambulans rumah sakit. Oomnya, adik mamanya, sudah berdiri di depan gerbang sekolah, tersenyum kecil tapi tampak tegang. Sarah merasa ada sesuatu yang tidak biasa.

Dengan hati yang mulai resah, Sarah mengikuti oomnya ke dalam mobil. Sepanjang perjalanan, pikirannya melayang-layang. Mobil yang biasanya menuju Medan malah berbelok ke arah rumah neneknya di Tebing Tinggi. "Oom, kita mau ke mana?" tanyanya, meski ia tahu jawaban itu tidak akan menghilangkan rasa khawatir yang mulai menyusup di hatinya.

"Kita ke rumah nenek dulu," jawab oomnya, suaranya terdengar bergetar.

Perasaan cemas semakin membesar. Saat mobil mendekati rumah nenek, Sarah melihat banyak orang berkumpul. Jantungnya berdegup kencang. Kenapa rumah nenek ramai sekali? Air matanya mulai menggenang tanpa ia sadari. Ketika mobil berhenti, kakinya terasa berat untuk turun.

Begitu turun dari mobil, Sarah melihat orang-orang mulai menoleh ke arahnya. Mereka memberinya jalan. Di dalam rumah nenek, Sarah melihat pemandangan yang paling ia takutkan. Di sana, di tengah ruangan, tubuh papanya terbaring diam, tertutup kain putih.

Sarah tak bisa menahan tangisnya. Badannya lemas, pandangannya kabur. "Papa..." suaranya bergetar, namun papanya tak lagi bangun. Sarah berjalan mendekat, air matanya jatuh membasahi pipinya. Ia ingat bagaimana papanya selalu memeluknya, menasihatinya dengan lembut, dan menyemangatinya untuk terus belajar. Setiap malam, ia selalu mendoakan kesembuhan papanya. Namun, takdir berkata lain.

Papanya, cinta pertama dan pahlawan dalam hidupnya, telah pergi. Hatinya kacau. Dengan langkah gontai, Sarah berdiri di samping tubuh papanya. Tangannya gemetar, namun ia berusaha tetap kuat. Dalam hatinya, ia memohon pada Tuhan agar diberi kekuatan untuk menghadapi semua ini. Meskipun papanya sudah pergi, Sarah tahu bahwa cinta dan nasihat papanya akan selalu hidup dalam hatinya, selamanya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar