Setiap
siang, tepat pukul dua, Sarah, seorang anak kelas 5 SD, bersiap-siap berangkat
mengaji ke madrasah. Rumahnya berada di kompleks perumahan karyawan rumah sakit
perkebunan, jauh di pedalaman. Dari rumahnya ke madrasah, Sarah harus berjalan
kaki melewati kebun sawit yang luas dan pabrik kelapa sawit yang besar.
Jaraknya cukup jauh, tapi Sarah tetap menempuhnya dengan penuh tekad. Madrasah
dimulai pukul dua siang dan berakhir pada jam lima, jadi setiap hari Sarah
harus menyiapkan diri untuk perjalanan panjang itu.
Papanya, yang bekerja sebagai perawat di
rumah sakit perkebunan, saat ini sedang sakit dan dirawat di Rumah Sakit Herna,
Medan. Mamanya ikut menjaga di sana, meninggalkan Sarah dan adiknya, Siti, di
rumah. Karena takut tinggal sendirian, Sarah dan Siti menumpang di rumah
tetangganya, Bu Aminah, yang selalu baik hati. Meski begitu, Sarah tidak pernah
lupa pesan mamanya sebelum berangkat ke Medan, "Nak, tetap rajin mengaji
ya. Doakan papa setiap hari, supaya cepat sembuh."
Setiap kali melangkahkan kaki menuju
madrasah, Sarah selalu ingat pesan itu. Ia merasa bertanggung jawab tidak hanya
pada dirinya sendiri, tapi juga pada keluarganya, terutama papanya yang sedang
sakit. Adiknya, Siti, yang masih duduk di kelas 2 SD, tidak ikut mengaji karena
terlalu kecil. Dengan hati yang penuh tekad, Sarah berjalan menyusuri kebun
sawit yang sunyi.
Kebun sawit itu memang sepi. Jarang ada
orang yang lewat, dan pabrik kelapa sawit yang dilewati Sarah sering
mengeluarkan suara gemuruh mesin yang membuatnya takut. "Bismillah, semoga
aku selamat sampai madrasah," ucap Sarah pelan setiap kali melangkah
dengan hati-hati di jalan tanah yang penuh kerikil. Meski hatinya kadang ciut,
ia tidak pernah membiarkan rasa takutnya mengalahkan niatnya untuk belajar dan
menjalankan kewajibannya.
Satu siang, ketika Sarah berjalan seperti
biasa, angin kencang tiba-tiba berhembus dari arah pabrik. Suara mesin
terdengar lebih keras dari biasanya, dan suasana di sekelilingnya semakin
sunyi. Sarah berhenti sejenak, memandang kebun sawit yang seolah tak berujung.
Perasaan cemas menyelinap dalam hatinya. Dia membayangkan papanya yang sedang
terbaring sakit di Medan, jauh dari rumah. Air matanya mulai menggenang, tapi
ia cepat-cepat menghapusnya. "Aku harus kuat," gumamnya, mempercepat
langkah menuju madrasah.
Sesampainya di madrasah, Sarah merasa
lega. Selama tiga jam, ia belajar dan berdoa dengan tenang. Ia selalu mendoakan
kesehatan papanya di sela-sela waktu mengaji. "Ya Allah, sembuhkan papa.
Aku ingin bisa bermain dan belajar bersama papa lagi," doanya dalam hati
setiap hari. Meski jauh di dalam lubuk hatinya ada kekhawatiran yang besar, Sarah
selalu berusaha kuat.
Sore itu, ketika madrasah selesai, Sarah
berjalan pulang dengan hati yang lebih tenang. Jalan yang sama ia lalui lagi,
melewati kebun sawit yang sunyi dan pabrik kelapa sawit yang berisik. Tapi kali
ini, ia merasa lebih berani. Dia tahu besok dan seterusnya, ia akan tetap
melakukan perjalanan ini, meski harus menghadapi rasa takut. Karena baginya,
perjalanan mengaji ini bukan hanya tentang belajar agama, tapi juga tentang
tanggung jawab terhadap keluarga dan menjalankan pesan mamanya.
Keesokan harinya, pagi di sekolah berjalan
seperti biasa. Sarah sedang bermain di halaman bersama teman-temannya. Bel
belum berbunyi, dan mereka memanfaatkan waktu untuk bersenang-senang. Namun
tiba-tiba, Ibu Rita, wali kelasnya, mendekati Sarah dengan wajah serius.
"Sarah, kamu harus pulang sekarang,
sayang," kata Ibu Rita lembut. "Oommu sudah datang menjemput. Papamu
di Medan rindu sekali padamu dan ingin segera bertemu."
Sarah terdiam sejenak, merasa bingung.
Papanya rindu? Tapi kenapa sepagi ini? Biasanya, kalau papanya kangen, dia
hanya dijemput saat libur sekolah untuk pergi ke Medan dengan ambulans rumah
sakit. Oomnya, adik mamanya, sudah berdiri di depan gerbang sekolah, tersenyum
kecil tapi tampak tegang. Sarah merasa ada sesuatu yang tidak biasa.
Dengan hati yang mulai resah, Sarah
mengikuti oomnya ke dalam mobil. Sepanjang perjalanan, pikirannya
melayang-layang. Mobil yang biasanya menuju Medan malah berbelok ke arah rumah
neneknya di Tebing Tinggi. "Oom, kita mau ke mana?" tanyanya, meski
ia tahu jawaban itu tidak akan menghilangkan rasa khawatir yang mulai menyusup
di hatinya.
"Kita ke rumah nenek dulu,"
jawab oomnya, suaranya terdengar bergetar.
Perasaan cemas semakin membesar. Saat
mobil mendekati rumah nenek, Sarah melihat banyak orang berkumpul. Jantungnya
berdegup kencang. Kenapa rumah nenek ramai sekali? Air matanya mulai menggenang
tanpa ia sadari. Ketika mobil berhenti, kakinya terasa berat untuk turun.
Begitu turun dari mobil, Sarah melihat
orang-orang mulai menoleh ke arahnya. Mereka memberinya jalan. Di dalam rumah
nenek, Sarah melihat pemandangan yang paling ia takutkan. Di sana, di tengah
ruangan, tubuh papanya terbaring diam, tertutup kain putih.
Sarah tak bisa menahan tangisnya. Badannya
lemas, pandangannya kabur. "Papa..." suaranya bergetar, namun papanya
tak lagi bangun. Sarah berjalan mendekat, air matanya jatuh membasahi pipinya.
Ia ingat bagaimana papanya selalu memeluknya, menasihatinya dengan lembut, dan
menyemangatinya untuk terus belajar. Setiap malam, ia selalu mendoakan
kesembuhan papanya. Namun, takdir berkata lain.
Papanya, cinta pertama dan pahlawan dalam hidupnya, telah pergi. Hatinya kacau. Dengan langkah gontai, Sarah berdiri di samping tubuh papanya. Tangannya gemetar, namun ia berusaha tetap kuat. Dalam hatinya, ia memohon pada Tuhan agar diberi kekuatan untuk menghadapi semua ini. Meskipun papanya sudah pergi, Sarah tahu bahwa cinta dan nasihat papanya akan selalu hidup dalam hatinya, selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar